Joe Hartanto, Enterpreneur, Investor Properti, Penulis Buku
Pernah Jadi Tukang Pembersih Lantai, dan Pelayan Toko
Joe Hartanto adalah seorang enterpreneur dan investor properti yang mengawali semua usahanya dari nol. Setelah berkali-kali jatuh bangun dalam hidupnya, saat ini ia telah berhasil memiliki portofolio investasi properti yang menghasilkan passive income dan berbagai divisi usaha yang menguntungkan, dari retail, pendidikan, hingga apotek. Bagaimana kisah petualangan Joe Hartanto, untuk bisa kembali bangkit dari kehancuran?
Joe terlahir dari keluarga sederhana. “Saya dulu saat masih sekolah sering malu ketika ditanya apa pekerjaan orangtua saya, karena ayah saya adalah pedagang dan pelatih anjing ,” ungkap Joe.
Sejak kecil Joe juga dididik untuk tidak bergantung pada orangtua dan selalu mendapatkan sesuatu lewat usaha. Joe menceritakan saat masa kecilnya di Bandung, ia seringkali pagi-pagi harus naik sepeda sejauh 5 km dari rumahnya ke tempat pemilik anjing untuk menjemput anjing yang akan dilatih.
Lulus kuliah, Joe sempat bekerja di beberapa perusahaan. Awalnya pindah-pindah karena tidak puas, terakhir dia mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus menjadi kepala cabang sebuah perusahaan trading yang memberi gaji dan fasilitas yang lumayan untuk ukuran saat itu.
Tapi karena itu fasilitas yang diberikan kantor dan bukan milik sendiri, ia sadar itu tidak akan ia miliki selamanya. Karena itu, Joe juga mulai merintis usaha –usaha sampingan dan cukup berhasil.
Namun Joe akhirnya harus kehilangan segala hal yang bisa dinikmatinya saat ia mengalami kebangkrutan mendadak. Joe mengaku karena keserakahannya dalam berbisnis , semua yang dimilikinya hancur dalam waktu cepat akibat tertipu rekan bisnisnya. Kejatuhan yang mendadak itu membuat Joe merasa sangat depresi , paranoid bahkan sempat terlintas keinginan untuk mengakhiri hidup.
Namun Joe memiliki istri yang selalu setia mendampingi dan ada teman-teman baru yang mau membantu. “Tapi karena istri saya yang selalu mendampingi saya yang depresi, akhirnya dia sendiri tidak bekerja dan kita tidak berpenghasilan,” kenangnya. Masa-masa sulit itu Joe mengaku sering berhari-hari hanya makan mie instant.
Motivasi Joe mulai tumbuh lagi ketika membaca buku-buku karya Robert Kiyosaki, seperti Rich Dad Poor Dad dan Cash Flow Quadrant, Berfikir dan Berjiwa Besar karya David Scwartz, Creating Wealth karya Robert G. Allen. Saat itu tahun 1999 buku-buku Robert Kiyosaki belum beredar di Indonesia. Joe mendapatkan buku-buku tersebut dari seorang temannya yang membelikannya sewaktu pergi ke Australia.
Joe pun kembali merintis bisnis-bisnis baru mulai dari jual beli mobil, kerajinan tangan, MLM, jadi pemborong taman dan sebagainya. Tahun 2000 Joe bisa membeli rumah di daerah Serpong , istrinya melahirkan putri mereka dan ia mulai mendirikan bisnis baru bersama beberapa temannya. Namun bisnis tersebut akhirnya juga terhenti di tengah jalan.
Kebangkrutan kedua disingkapi Joe secara lebih positif. Saat itu Joe memutuskan untuk pergi ke Amerika meninggalkan anak dan istrinya, untuk bekerja sekaligus mencari wawasan. “Waktu itu saya berfikir saya harus bekerja dulu lagi untuk mencari modal,” ungkap lelaki kelahiran tahun 1970 ini. Joe ke Amerika dengan harapan memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.
Dengan ongkos pinjaman dari mertua, dan visa turis, Joe nekat bekerja di Amerika. Di negeri Paman Sam, Joe menggeluti tiga pekerjaan sekaligus. “Saya kerja fisik sehari 16-18 jam,” kenangnya. Joe bekerja di minimarket 7 Eleven sebagai pelayan toko, dari pukul 23.00-08.00 pagi. Joe sengaja memilih shift malam karena bayarannya lebih tinggi dan dan bisa bekerja di tempat lain pada siang harinya.
Dari pukul 09.00-15.00 sore, Joe bekerja di deli (semacam kafe) di sana dia bertugas mengepel lantai, membuang sampah, membuat sandwich hingga mengantar pesanan makanan dengan berjalan kaki.
Deli tempatnya bekerja tutup setiap Sabtu-Minggu, jadi tiap Sabtu, selepas pulang dari 7 Eleven, Joe bisa bekerja membersihkan lorong apartemennya yang katanya honornya lumayan. Joe hanya libur pada hari minggu dan itu ia pergunakan untuk mengurus keperluan hidupnya sendiri. “Tiap minggu saya ke laundry lalu belanja kebutuhan makanan dan keperluan pribadi lainnya dan sedikit beristirahat. Joe menjalani kehidupan seperti itu selama 730 hari.
Setelah kurang lebih dua tahun di Amerika, tahun 2003 Joe pulang ke Indonesia, dengan tekad yang sama ingin kembali memulai bisnis baru dengan bekal hasil kerjanya selama dua tahun di Amerika.
Joe lalu bertemu dengan Purwacaraka. Lewat pembicaraan yang cukup lama, akhirnya Joe mendirikan cabang sekolah musik Purwacaraka. Saat itu pula Joe mulai tertarik pada investasi properti karena modal mendirikan sekolah musik, bukan berasal dari tabungan kerjanya selama di Amerika tapi justru didapat dari menjaminkan rumah tinggal yang dulu dibeli pada tahun 2000 di Serpong.
“Dulu belinya 140 juta, namun dengan jaminan rumah itu saya bisa dapat pinjaman modal usaha senilai 300 juta,” ujarnya. Dari situ Joe mulai tertarik pada investasi di bidang properti.
Joe kemudian mengambil franchise retail minimarket, dan terus berburu properti untuk investasi. Dari buku-buku mengenai investasi properti dan melihat kondisi sebenarnya di Indonesia, Joe mulai menemukan cara berinvestasi properti tanpa modal sendiri, dan bisa menghasilkan passive income. Cara tersebut kemudian ia ajarkan ke beberapa orang. Ketika beberapa orang yang diajari cukup berhasil menggunakan cara itu, Joe mulai percaya diri membuat workshop dan menulis buku, berjudul Property Cash Machine, yang cukup laris di pasaran.
Salah satu kelebihan Joe Hartanto adalah kemampuannya bertahan di tengah situasi sulit dan kemauannya untuk belajar. Kini setelah banyak hal dicapainya Joe mengaku masih terus belajar karena banyak juga yang masih ingin diraihnya. “Lakukan lebih dari yang diharapkan,” ungkap Joe membocorkan rahasia bisa sukses baik itu di dalam dunia kerja maupun di dunia usaha.
Pernah Jadi Tukang Pembersih Lantai, dan Pelayan Toko
Joe Hartanto adalah seorang enterpreneur dan investor properti yang mengawali semua usahanya dari nol. Setelah berkali-kali jatuh bangun dalam hidupnya, saat ini ia telah berhasil memiliki portofolio investasi properti yang menghasilkan passive income dan berbagai divisi usaha yang menguntungkan, dari retail, pendidikan, hingga apotek. Bagaimana kisah petualangan Joe Hartanto, untuk bisa kembali bangkit dari kehancuran?
Joe terlahir dari keluarga sederhana. “Saya dulu saat masih sekolah sering malu ketika ditanya apa pekerjaan orangtua saya, karena ayah saya adalah pedagang dan pelatih anjing ,” ungkap Joe.
Sejak kecil Joe juga dididik untuk tidak bergantung pada orangtua dan selalu mendapatkan sesuatu lewat usaha. Joe menceritakan saat masa kecilnya di Bandung, ia seringkali pagi-pagi harus naik sepeda sejauh 5 km dari rumahnya ke tempat pemilik anjing untuk menjemput anjing yang akan dilatih.
Lulus kuliah, Joe sempat bekerja di beberapa perusahaan. Awalnya pindah-pindah karena tidak puas, terakhir dia mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus menjadi kepala cabang sebuah perusahaan trading yang memberi gaji dan fasilitas yang lumayan untuk ukuran saat itu.
Tapi karena itu fasilitas yang diberikan kantor dan bukan milik sendiri, ia sadar itu tidak akan ia miliki selamanya. Karena itu, Joe juga mulai merintis usaha –usaha sampingan dan cukup berhasil.
Namun Joe akhirnya harus kehilangan segala hal yang bisa dinikmatinya saat ia mengalami kebangkrutan mendadak. Joe mengaku karena keserakahannya dalam berbisnis , semua yang dimilikinya hancur dalam waktu cepat akibat tertipu rekan bisnisnya. Kejatuhan yang mendadak itu membuat Joe merasa sangat depresi , paranoid bahkan sempat terlintas keinginan untuk mengakhiri hidup.
Namun Joe memiliki istri yang selalu setia mendampingi dan ada teman-teman baru yang mau membantu. “Tapi karena istri saya yang selalu mendampingi saya yang depresi, akhirnya dia sendiri tidak bekerja dan kita tidak berpenghasilan,” kenangnya. Masa-masa sulit itu Joe mengaku sering berhari-hari hanya makan mie instant.
Motivasi Joe mulai tumbuh lagi ketika membaca buku-buku karya Robert Kiyosaki, seperti Rich Dad Poor Dad dan Cash Flow Quadrant, Berfikir dan Berjiwa Besar karya David Scwartz, Creating Wealth karya Robert G. Allen. Saat itu tahun 1999 buku-buku Robert Kiyosaki belum beredar di Indonesia. Joe mendapatkan buku-buku tersebut dari seorang temannya yang membelikannya sewaktu pergi ke Australia.
Joe pun kembali merintis bisnis-bisnis baru mulai dari jual beli mobil, kerajinan tangan, MLM, jadi pemborong taman dan sebagainya. Tahun 2000 Joe bisa membeli rumah di daerah Serpong , istrinya melahirkan putri mereka dan ia mulai mendirikan bisnis baru bersama beberapa temannya. Namun bisnis tersebut akhirnya juga terhenti di tengah jalan.
Kebangkrutan kedua disingkapi Joe secara lebih positif. Saat itu Joe memutuskan untuk pergi ke Amerika meninggalkan anak dan istrinya, untuk bekerja sekaligus mencari wawasan. “Waktu itu saya berfikir saya harus bekerja dulu lagi untuk mencari modal,” ungkap lelaki kelahiran tahun 1970 ini. Joe ke Amerika dengan harapan memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.
Dengan ongkos pinjaman dari mertua, dan visa turis, Joe nekat bekerja di Amerika. Di negeri Paman Sam, Joe menggeluti tiga pekerjaan sekaligus. “Saya kerja fisik sehari 16-18 jam,” kenangnya. Joe bekerja di minimarket 7 Eleven sebagai pelayan toko, dari pukul 23.00-08.00 pagi. Joe sengaja memilih shift malam karena bayarannya lebih tinggi dan dan bisa bekerja di tempat lain pada siang harinya.
Dari pukul 09.00-15.00 sore, Joe bekerja di deli (semacam kafe) di sana dia bertugas mengepel lantai, membuang sampah, membuat sandwich hingga mengantar pesanan makanan dengan berjalan kaki.
Deli tempatnya bekerja tutup setiap Sabtu-Minggu, jadi tiap Sabtu, selepas pulang dari 7 Eleven, Joe bisa bekerja membersihkan lorong apartemennya yang katanya honornya lumayan. Joe hanya libur pada hari minggu dan itu ia pergunakan untuk mengurus keperluan hidupnya sendiri. “Tiap minggu saya ke laundry lalu belanja kebutuhan makanan dan keperluan pribadi lainnya dan sedikit beristirahat. Joe menjalani kehidupan seperti itu selama 730 hari.
Setelah kurang lebih dua tahun di Amerika, tahun 2003 Joe pulang ke Indonesia, dengan tekad yang sama ingin kembali memulai bisnis baru dengan bekal hasil kerjanya selama dua tahun di Amerika.
Joe lalu bertemu dengan Purwacaraka. Lewat pembicaraan yang cukup lama, akhirnya Joe mendirikan cabang sekolah musik Purwacaraka. Saat itu pula Joe mulai tertarik pada investasi properti karena modal mendirikan sekolah musik, bukan berasal dari tabungan kerjanya selama di Amerika tapi justru didapat dari menjaminkan rumah tinggal yang dulu dibeli pada tahun 2000 di Serpong.
“Dulu belinya 140 juta, namun dengan jaminan rumah itu saya bisa dapat pinjaman modal usaha senilai 300 juta,” ujarnya. Dari situ Joe mulai tertarik pada investasi di bidang properti.
Joe kemudian mengambil franchise retail minimarket, dan terus berburu properti untuk investasi. Dari buku-buku mengenai investasi properti dan melihat kondisi sebenarnya di Indonesia, Joe mulai menemukan cara berinvestasi properti tanpa modal sendiri, dan bisa menghasilkan passive income. Cara tersebut kemudian ia ajarkan ke beberapa orang. Ketika beberapa orang yang diajari cukup berhasil menggunakan cara itu, Joe mulai percaya diri membuat workshop dan menulis buku, berjudul Property Cash Machine, yang cukup laris di pasaran.
Salah satu kelebihan Joe Hartanto adalah kemampuannya bertahan di tengah situasi sulit dan kemauannya untuk belajar. Kini setelah banyak hal dicapainya Joe mengaku masih terus belajar karena banyak juga yang masih ingin diraihnya. “Lakukan lebih dari yang diharapkan,” ungkap Joe membocorkan rahasia bisa sukses baik itu di dalam dunia kerja maupun di dunia usaha.
No comments:
Post a Comment