Wacana perpindahaan ibu kota yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat buka bersama KADIN di Jakarta, Jumat (3/9), segera ditindaklanjuti dengan berbagai langkah strategis oleh Kementerian dan Lembaga terkait. Ada tiga skenario yang akan dipikirkan untuk perpindahan ibu kota ini.
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, menyatakan bahwa setelah libur Hari Raya Idul Fitri, Presiden mengajak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II untuk membicarakan kerangka perencanaan secara komprehensif dalam menyusun kebijakan perpindahan ibukota.
“Presiden mengharapkan adanya konsolidasi yang intensif antara Kementerian dan Lembaga untuk menyatukan rumusan kajian mengenai perpindahakan ibu kota. Semua dokumen yang telah diselesaikan, seperti asessment awal, berbagai kajian tata ruang yang terkait dengan ibu kota Jakarta, serta kajian terhadap opsi-opsi alternatif ibu kota, akan dikerucutkan,” ujar Velix Wanggai.
Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah memetakan adanya tiga skenario perpindahan ibu kota.
Skenario pertama adalah skenario realistis, di mana ibu kota tetap di Jakarta. Namun, untuk yang satu ini, harus ada pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.
“Kebijakan ini harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah,” katanya.
Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini, Presiden menawarkan agar pusat pemerintahan dipisahkan dari ibu kota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis. Namun, pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru. Karena itu, dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini.
“Tentu saja, perlu dipertimbangan faktor jarak antara Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya,” lanjutnya.
Sedangkan skenario ketiga adalah skenario ideal yang bersifat radikal. Dalam opsi ini, negara membangun ibu kota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis.
“Skenario radikal itu memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru,“ jelas Velix.
Meskipun kajian mengenai perpindahan ibu kota yang dilakukan pemerintah telah berjalan, Presiden tetap mengajak para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah.
“Presiden terbuka apabila para pakar dan lembaga swadaya masyarakat ingin menyampaikan kajian yang telah mereka selesaikan secara mandiri. Intinya, pemerintah ingin agar proses menuju perencanaan perpindahan ibukota dilakukan secara partisipatif,” lajutnya.
Velix mencontohkan, kajian yang dilakukan Tim Visi 2033 di bawah Andrinof Chaniago, akademisi Universitas Indonesia, sebagi salah satu masukan penting untuk melengkapi kajian-kajian yang telah dilakukan oleh jajaran pemerintah. Dalam kajiannya, Andrinof dan kawan-kawan merekomendasikan perpindahan ibukota ke Palangkaraya.
Sumber - Kompas
No comments:
Post a Comment