Pakar ekonomi Firmanzah, menyarankan pemerintahan
mendatang, di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk mempertahankan
kebijakan ekonomi yang disiplin dan berhati-hati.
Hal ini dimaksudkan agar perekonomian nasional bisa terus tumbuh,
berkualitas dan semakin bertenaga dalam mewujudkan pembangunan yang
sedang berjalan.Firmanzah menyebutkan, pemerintahan mendatang menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan. Selain dibayangi angka inflasi yang tinggi, pemerintah juga perlu mewaspadai dan mengantisipasi normalisasi moneter dunia, dengan dinaikkannya suku bunga di Amerika Serikat yang direncanakan akan dilakukan tahun 2015, dan tentunya akan memiliki dampak bagi perekonomian nasional.
“Koordinasi dan bauran kebijakan baik di sektor fiskal, moneter dan riil perlu terus ditingkatkan sebagai manivestasi kedisipilinan serta kehati-hatian dalam pengelolaan kebijakan perekonomian nasional,” ujar Firmanzah melansir laman Sekretariat Kabinet di Jakarta, Senin (25/8/2014).
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu memaparkan, di tingkat global, saat ini ada kecenderungan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara di Eropa berada di bawah perkiraan Bank Sentral Eropa (ECB).
Bahkan secara rata-rata pertumbuhan PDB di kawasan Euro diperkirakan hanya mencapai 0.1 persen pada kuartal kedua, yang berati lebih rendah dari kuartal pertama sebesar 0,2 persen.
Ia menyebutkan, ekonomi Jerman berkontraksi 0,2 persen, Perancis melaporkan stagnasi pertumbuhan dengan ancaman defisit di atas 4 persen, sementara Italia kembali meneruskan tren kontraksi mengarah ke resesi yang telah dialami dalam beberapa kuartal terakhir.
Adapun di Eropa Timur khususnya Polandia, Ceko, dan Rumania juga menunjukkan perlambatan bahkan ekonomi Rumania dilaporkan berkontraksi 1 persen pada kuratal 2/2014.
Kondisi di atas juga diperburuk oleh situasi politik Zona Euro dengan perseteruan Rusia dan Ukraina yang menyebabkan potensi terhentinya bantuan Internasional ke kawasan ini.
Menurut Firmanzah, indeks kepercayaan konsumen di 18 negara yang tergabung dalam zona Euro juga mengalami pertumbuhan negatif yang semakin dalam.
“Pada bulan Agustus 2014, indeks kepercayaan konsumen terus merosot hingga minus 10 persen dari posisi Juli 2014 yang mencapai minus 8,4,” terang dia.
Karena itu, Firmanzah memahami jika Bank Sentral Eropa (ECB) pada Juli lalu mengumumkan, kawasan zona Euro kembali dibayang-bayangi risiko deflasi yang berpotensi menjerumuskan ekonomi kawasan tersebut.
Bank sentral Eropa (ECB) telah melaporkan inflasi yang sangat rendah bulan Juli lalu di level 0.4 persen, yang merupakan inflasi terlambat sejak tahun 2009.
Inflasi yang di bawah 1 persen ini, lanjut Firmanzah, dipandang banyak kalangan akan semakin menyulitkan otoritas kawasan tersebut untuk mendorong pemulihan di kawasan Eropa. Karena itu, ECB mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga murah ke level 0,15 persen, atau lebih rendah dari saat ini sebesar 0,25 persen.
Firmanzah menilai, ekspektasi inflasi kawasan Euro yang didesain 2 persen oleh ECB untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sepertinya sulit untuk diwujudkan.
Dia mengingatkan, deflasi yang terlalu rendah memiliki efek yang sama dengan inflasi yang terlalu tinggi. Karena itu, inflasi perlu dijaga dalam rentan yang aman dan memungkinkan ekonomi terus tumbuh namun tidak membahayakan fundamental ekonomi .
Menurut Firmanzah, negara-negara kawasan Euro yang menghadapi risiko inflasi rendah (deflasi) seperti Portugal, Spanyol dan Italia diperkirakan akan semakin membebani pemulihan kawasan Euro dengan target inflasi yang disampaikan ECB.
Ia menyebutkan, tingkat inflasi di Portugal mencapai minus 0,7 persen pada kuartal II-2014, inflasi di Spanyol diperkirakan turun ke level 0,3 persen.
Sementara Italia juga semakin memburuk, sehingga menyebabkan ekonomi di ketiga negara tersebut semakin sulit keluar dari persoalan hutang dengan tren yang terus meningkat.
“Italia kini menghadapi persoalan hutang yang sangat serius dimana rasio hutang terhadap PDB telah mencapai 135.6 persen, sementara rasio hutang Portugal juga meningkat ke level 132,9 persen,” jelas Firmanzah.
Belajar dari realita yang terjadi di kawasan Euro, menurut Firmanzah, pengelolaan risiko inflasi menjadi sangat relevan bagi perekonomian nasional.
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu menyebutkan, desain kebijakan ekonomi nasional khususnya pengelolaan risiko inflasi telah menjadi fokus perhatian pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga menggairahkan aktivitas-aktivitas ekonomi produktif.
“Perbaikan kinerja neraca dagang dan inflasi menunjukkan berjalannya bauran kebijakan (policy mix) yang ditempuh selama ini,” kata Firmanzah seraya menyebutkan, bauran kebijakan antara otoritas fiskal dan moneter dilakukan untuk terus menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah risiko global yang semakin kompleks.
Ia mengingatkan, pengendalian inflasi di rentang tertentu tidak hanya sebagai instrument pertumbuhan tetapi sekaligus mendorong penguatan fundamental ekonomi nasional sehingga sejumlah proses pembangunan dapat terus berjalan.
Kondisi itulah, jelas Firmanzah, yang menyebabkan pemerintah berhati-hatian dalam mengeluarkan sejumlah kebijakan yang akan ditempuh. (Nrm)
No comments:
Post a Comment