MERDEKA.COM. Isu perlunya diambil kebijakan
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali muncul ke permukaan
seiring dengan makin membesarnya alokasi anggaran subsidi bidang energi,
khususnya BBM. Wacana ini bukan berasal dari pemerintah, melainkan dari
kalangan akademisi, ekonom, pengusaha, dan pihak lain termasuk partai
politik.
Bukan hal mudah bagi pemerintah untuk memutuskan kembali menaikkan
harga BBM. Terlebih, tahun lalu pemerintah sudah menaikkan harga BBM
bersubsidi untuk premium dari semula Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 dan solar
dari semula Rp 4.500 menjadi Rp 5.500.Meski di akhir masa jabatannya sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya menahan untuk tidak mengambil kebijakan nonpopulis tersebut. Pemerintah lebih memilih jalan 'aman' dengan kebijakan membatasi konsumsi dan penjualan BBM bersubsidi.
Dalam postur anggaran tahun depan yang akan digunakan oleh pemerintahan baru, SBY juga tidak memasukkan rencana kenaikan harga BBM. Berangkat dari situ muncul desakan-desakan serta sindiran soal kesalahan SBY membiarkan anggaran negara terus dibebani subsidi BBM.
Salah satunya, SBY dianggap menjebak pemerintahan baru yang bakal dipimpin Joko Widodo sebagai presiden terpilih dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden terpilih.
Anggapan itu terlontar dari kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). SBY, secara tidak langsung dinilai mengarahkan suksesornya untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Soalnya, Rancangan APBN (RAPBN) 2015 disusun dengan tidak menyisakan ruang fiskal cukup bagi presiden mendatang untuk menjalankan program-program yang dijanjikannya semasa kampanye.
"Nampaknya RAPBN ini didesain oleh pemerintahan SBY agar pemerintahan baru menaikkan harga BBM subsidi. Enggak fair dong," ujar politisi PDIP Dolfie O.F Palit.
Seolah tidak mau 'masuk dalam jebakan', PDIP mendorong SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum dia lengser. Salah satu strategi awal adalah menolak pelimpahan atau skema tunda tagih (carry over) subsidi premium dan solar tahun ini, untuk masuk anggaran 2015.
Dalam RAPBN 2015, SBY mewariskan subsidi BBM membengkak hingga Rp 363,5 triliun, dari total subsidi sebesar Rp 433,5 triliun. Ini akibat adanya carry over subsidi PT Pertamina, termasuk untuk elpiji 3 kg, yang bengkak pada 2014 lantas ditagihkan pada APBN tahun depan.
Dolfie mengingatkan, potensi bengkaknya dana PSO Pertamina karena SBY kemungkinan gagal mengendalikan konsumsi volume 46 juta kilo liter subsidi BBM. Untuk itu, PDI-P bakal ngotot memaksa pemerintahan sekarang menaikkan harga jual ketika batas konsumsi sudah hampir terlewati. "Kalau volumenya 46 juta KL dan jebol ya harus menyesuaikan harga BBM," ujarnya.
Menilik ke belakang, sikap politik PDIP soal subsidi ini berbanding terbalik dengan sikap partai berlambang banteng itu selama menjadi oposisi pemerintahan SBY. Hampir di setiap kesempatan munculnya isu kenaikan harga BBM, PDIP selalu berdiri di garda terdepan untuk menolaknya.
Ambil contoh saat 2012, DPP PDIP menginstruksikan jajaran partai agar memasang spanduk menolak kenaikan harga BBM. Instruksi ini diberikan DPP kepada elemen partai hingga tingkat terbawah.
"Instruksi partai ke seluruh struktur partai se-Indonesia dan kepada seluruh anggota fraksi DPR-DPRD se Indonesia untuk memasang spanduk penolakan kenaikan harga BBM di seluruh pelosok tanah air," ujar Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo dalam pesan singkat yang diterima merdeka.com, Sabtu (17/3).
Tidak berhenti sampai di situ, setahun kemudian saat isu kenaikan harga BBM kembali mengemuka, PDIP kembali ke barisan terdepan bersuara lantang menolaknya. Tidak sekadar menolak, partai oposisi ini juga merumuskan postur APBN-P 2013 versi sendiri.
Postur APBN-P 2013 yang ditulis dalam buku saku itu menunjukkan pemerintah sebenarnya bisa mencari sumber-sumber lain untuk menutupi biaya subsidi, ketimbang menaikkan harga BBM.
"Kami sudah bagikan buku kecil. Sesuai buku yang kami buat ini, akan diberikan kepada masyarakat luas bahwa pandangan PDIP kenapa beda dengan pemerintah," kata Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani di DPR, Senayan Jakarta, Senin (17/6).
Terlihat jelas perubahan sikap politik anggaran PDIP di penghujung lengsernya SBY.