TEMPO.CO , Jakarta: Tahun
ini penuh ketragisan bagi Malaysia Airlines. Dalam waktu yang cukup
singkat, perusahaan itu kehilangan dua pesawat Boeing 777. (Baca: Jejak Perjalanan MH17 yang Jatuh di Ukraina)
Sejumlah
analis bahkan menyebutkan pentingnya pemerintah Malaysia menyuntikkan
dana untuk membantu keuangan perusahaan. "Kejadian ini tidak sepadan
untuk sebuah maskapai penerbangan, apalagi ini terjadi saat perusahaan
dalam kondisi kesulitan keuangan," kata Managing Director Sydney Pacific
Aviation Consulting, Oliver Lamb seperti dilansir The Wall Street
Journal, Jumat, 18 Juli 2014. (Baca: Putri Kepala Pramugari MH370 Doakan Korban MH17)Kamis lalu, pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 tiba-tiba dilaporkan hilang dari radar saat berada di wilayah timur Ukraina. Pesawat dengan rute Amsterdam-Kuala Lumpur tersebut ditembak jatuh hingga hancur berkeping-keping di perbatasan Ukraina-Rusia. Penumpang sebanyak 295 orang, termasuk awak pesawat, tewas dalam kecelakaan ini. (Baca: PM Malaysia Sumpah Temukan Penyebab Jatuhnya MH17)
Empat bulan sebelumnya, Malaysia Airlines juga harus menanggung kerugian karena pesawatnya menghilang. Pesawat yang kabarnya jatuh di sekitar Samudera Hindia ini belum ditemukan puing dan jasad para penumpangnya hingga sekarang.
Sejumlah analis menganggap runtutan peristiwa itu ini bakal menimbulkan ancaman krisis keuangan bagi Malaysia Airlines. Perusahaan itu harus menanggung tuntutan hukum yang mahal dan jutaan dolar uang tanggungan bagi keluarga korban. Namun, perusahaan sebenarnya sudah tenggelam dalam kesulitan keuangan jauh sebelum tragedi ini terjadi.
Pertama masalah daya saing. Malaysia Airlines sudah menghadapi tantangan dengan hadirnya perusahaan-perusahaan penerbangan swasta lainnya. Termasuk maskapai AirAsia yang berani menawarkan harga tiket yang jauh lebih rendah.
Malaysia Airlines berusaha menggenjot pendapatan perusahaan dengan menjual lebih banyak tiket dibandingkan menaikkan harga. Sayangnya, upaya ini justru menekan kinerja bisnis perusahaan. Selama tiga tahun terakhir berturut-turut, perusahaan merugi hingga 4,2 miliar ringgit atau sekitar US$1,3 miliar.
Tahun lalu, perusahaan malahan kehilangan dana hingga 2.52 miliar ringgit atau sekitar US$ 780 juta akibat kenaikan biaya bahan bakar. Secara total, kerugian perusahaan di kuartal keempat 2013 mencapai 1,28 miliar ringgit, dengan pendapatan meningkat 2 persen menjadi 13,9 miliar ringgit.
Tak hanya itu, kejadian ini turut membuat saham perusahaan dengan nama dagang Malaysia Airlines System Bhd. (MAS) ini merosot. Pada hari ini, saham MAS turun ke posisi 0,2 dolar per lembar atau 11,11 persen.
CNN | THE SIDNEY MORNING HERALD | REUTERS | AYU PRIMA SANDI
No comments:
Post a Comment