Blogroll

https://pasarhots.blogspot.co.id/2018/02/pasang-banner-bisnis-murah.html

Saturday, July 12, 2014

Ada Apa dengan Quick Count?

“MASA jagoan kita kalah nih?” sahabat saya berkomentar saat berusaha bergabung dengan rekan-rekan yang sedang asyik menonton quick count di salah satu tv swasta tentang hasil pemilihan presiden (pilpres) pada malam hari, 9 Juli 2014.
“Wah sayang juga ya, kok bisa kalah ya!” saya menjawab celotehan sahabat sambil berusaha menenangkan diri agar tidak terpancing emosi mereka. “Siapa pun presidennya, kita wajib mendukungnya, kita harus legowo dan tetap bekerja seperti sedia kala. Kemenangan mereka kan tidak akan berdampak pada kita secara langsung. Tenang saja!” sambil saya menonton dan memperhatikan informasi yang disampaikan tv swasta tersebut.
“Waduh, kita salah menonton tv nih. Coba ganti salurannya, jangan tv yang itu dong!” teriak saya kepada rekan-rekan yang asyik menonton dengan wajah yang penuh rasa cemas karena jagoannya kalah. Tak lama kemudian, teriakan gembira pun memecahkan keheningan suasana ruangan “Horeeeee……ternyata kita menang nih di tv yang satu ini!” Dan tawa pun kembali bergema menyambut kemenangan yang sebenarnya masih semu.
Perbincangan pun berlanjut. Rekan-rekan pun berceloteh bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki 3 presiden dalam satu negara pada waktu yang bersamaan, yaitu Bapak SBY yang masih menjabat sebagai presiden, Bapak Jokowi yang menyatakan menang pilpres setelah satu setengah jam pencoblosan dinyatakan selesai, dan Bapak Prabowo yang menyatakan menang pilpres satu jam kemudian setelah deklarasinya Bapak Jokowi.
Itulah selintas suasana ketegangan saat menonton hasil hitung cepat (quick count) pilpres Republik Indonesia yang ke tujuh. Masing-masing kandidat saling mengklaim bahwa merekalah sebagai pemenang pilpres didasarkan pada lembaga survey yang mereka anggap percayai sebagai lembaga yang konon professional dan tidak memihak. Aneh tapi nyata, lucu dan menggelikan.
Berbagai media internasional pun turut memberikan perhatian terhadap pilpres kali ini, apalagi di dunia maya, satu sama lain para pendukungnya mengklaim bahwa masing-masing jagoannya adalah pemenang pilpres dan bakal menjadi Presiden RI yang ke-7 menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Terkait kisruh quick count atau hitung cepat yang berbeda dalam menghasilkan pemenang pada Pilpres 2014 kali ini, tentu menimbulkan banyak tanda tanya bagi pendukung calon dan juga masyarakat Indonesia. Para pakar statistik mulai mengomentari kinerja lembaga-lembaga survey yang ditengarai akan dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, serta merusak proses pilpres yang telah terselenggara dengan cara yang menunjukkan kedewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Demikian ungkapan dari salah satu anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Prof. Dr. Hamdi Muluk.
Apa yang sebenarnya menjadi faktor pembeda dalam perhitungan quick count tersebut? Salah satu penyebab utama biasanya ada pada metodologi yang digunakan oleh masing-masing lembaga. Namun, jika hasil quick count dari lembaga survey lebih bersifat klaim politik, walaupun metodologinya sama, maka kepentingan “pesanan” pun akan lebih didahulukan daripada klaim akademiknya.
Survey yang selama mengenai elektabilitas para kandidat, sebelum pelaksanaan pilpres, sampelnya adalah individu. Demikian pula untuk exit poll dimana sampelnya adalah para pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya begitu keluar dari TPS. Kedua pola sampelnya akan menghasilkan data statistik yang bersifat dugaan.
Sementara itu, pada quick count, sampel yang diteliti bukanlah individu atau pemilih, melainkan hasil perolehan suara di TPS. Nah, dengan cara pemilihan sampel ini tentunya hasil yang akan diperoleh pasti berbeda antara hasil exit poll dan quick count. Belum lagi jika cara penetapan samplenya berbeda, artinya sampel yang diambil bukan merupakan sampel yang dapat dikatakan mewakili populasi secara keseluruhan.
Jika penetapan sample dan metodenya sama, rasanya mustahil jika output yang dihasilkan itu berbeda. Pasti sama. Kecuali ada muatan-muatan negatif yang memang ingin membuat suasana menjadi kurang kondusif. Dengan hasil quick count saat ini yang membingungkan masyarakat dan berpotensi membuat suasana emosi antar pendukung jadi tegang dan membingungkan masyarakat umum, maka perlu adanya sanksi bagi lembaga-lembaga yang memang kurang kredibel dalam pelaksanaan survey tersebut.
Di sisi lain, ini juga menjadi masukan bagi penyelenggara pemilu (KPU) agar pada pemilu berikutnya tidak lagi kalah pamor dibandingkan lembaga-lembaga survey pelaksana quick count. Perlu pembenahan dan lebih ditingkatkan lagi dalam kecepatan penyampaian hasil pemilu. Bisa jadi quick count dilakukan oleh penyelenggara resmi dari KPU, sehingga masyarakat bisa lebih tenang dan sabar dalam mengamati hasilya.
Sementara lembaga-lembaga survey lainnya berperan sebagai alat kontrol agar tidak terjadi kecurangan dalam penyampaian hasilnya. Jangan sampai ada lagi pernyataan yang nampaknya kurang nyaman untuk kita semua, seakan-akan lembaga survey adalah lembaga yang hasilnya lebih akurat dibandingkan hasil dari KPU.
Coba simak penyataan dari Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanudin Muhtadi, yang dikutif Solopos.Com. “Tujuan utama quick count itu sebagai alat kontrol supaya gak terjadi kecurangan. Misalnya, kalau terjadi perbedaan pada hasil rekapitulasi nasional, saya berani bilang KPU yang salah.”
Selamat menunggu hasil pemilihan presiden 2014 pada 22 Juli 2014 yang akan diumumkan KPU. Semoga kita semua, warga Negara Indonesia, lebih arif menyikapi hasil akhir pilpres sehingga kita menjadi bangsa bermartabat yang memiliki kedewasaan dalam bernegara.
*) Priatna Agus Setiawan adalah konsultan senior Manajemen Organisasi dan SDM First Doctor, www.firstdoctor.co.id.

No comments:

Paling banyak dibaca