MERDEKA.COM. Huswatun Hasanah (27) mengaku
beruntung kendati ikut dipecat PT Hanjaya Mandala (H.M) Sampoerna Tbk
per 16 Mei 2014. Rasa syukurnya bukan karena pesangon Rp 7,8 juta yang
dijanjikan bakal ditransfer paling lambat 13 Juni mendatang. Tapi lebih
karena dia belum terbelit utang seperti teman-temannya, sebagian dari
4.900 buruh yang dipecat.
"Waktu diumumkan pabrik tutup semua nangis. Ada yang belum lama
ngambil kredit sepeda motor, baru seminggu. Mandor-mandor juga banyak
yang nangis. Bingung melunasinya bagaimana," ujarnya kepada merdeka.com
saat disambangi di kediamannya, Kecamatan Kunir, Kabupaten Lumajang,
Jawa Timur, Jumat (30/5).Ancaman kredit macet ini banyak menimpa para buruh Sampoerna. Cerita serupa juga dialami 2.300 buruh Sampoerna Kecamatan Silo, Desa Garahan, Jember. Kedua pabrik memproduksi Sigaret Kretek Tangan itu ditutup bebarengan.
Ani Widyawati, (22), buruh yang juga dipecat mengenang betapa urusan kredit sepeda motor ini nyaris membelitnya. Di luar jam kerja, banyak buruh membicarakan soal cicilan kendaraan bermotor. Ada yang mengaku membeli motor bebek, sebagian besar mencicil sepeda motor perseneling otomatis. Tapi beberapa juga membelikan anak-anaknya sepeda motor kopling mahal di atas Rp 20-an juta.
Buruh di Pabrik Lumajang yang 99 persen perempuan itu, imbuh Ani, bangga lantaran mampu membeli barang mewah itu, tanpa mengandalkan suami atau anggota keluarga lain. "Sebagian teman bilang, sebaiknya saya ikut ambil kredit sepeda motor juga. Tapi enggak jadi ikutan," kata Ani.
Buruh di Lumajang seluruhnya sudah permanen. Status itu jadi pegangan karyawan memberanikan diri berutang membeli kendaraan bermotor. "Pas sudah permanen, tahu-tahu banyak gitu yang ngurus kreditan," kata Ida Mulyani, 23 tahun, bekas pekerja di bagian pemotongan rokok.
Iteng Ahmad Surowi (44), tokoh petani tembakau Lumajang, memahami alasan buruh kalut luar biasa memikirkan masa depan kredit motor mereka. Gaji yang diberikan Sampoerna, diakui banyak pihak di atas Upah Minimum Regional yang dipatok Rp 1.120.000 per bulan.
Kalaupun masih mau bekerja di pabrik, pilihannya hanya mendaftar ke perusahaan pembuatan triplek, dengan bayaran jauh lebih rendah dibanding melinting rokok. "Di Lumajang sebelumnya tidak ada pabrik sebesar itu. Mereka merasa hidupnya mulai mapan," kata Iteng.
Maman, Ketua Serikat Pekerja Pabrik Sampoerna di Kunir menilai pabrik rokok ini satu-satunya yang masih bersedia merekrut buruh cuma lulus Sekolah Dasar. Terutama perempuan yang tak lagi memiliki suami dan tak punya keahlian. Bukan sekadar kredit motor, kelangsungan nafkah sehari-hari mereka pun jadi ruwet. "Pabrik lain mana ada yang mau mempekerjakan mereka."
No comments:
Post a Comment