MERDEKA.COM. Seorang petinggi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat menelepon seorang wartawan
peliharaannya. Dia menitip pesan untuk menggarap sebuah berita.
Jika
beritanya tayang, imbalan bakal diterima pelacur berita itu tidak
tanggung-tanggung. Fulus Rp 10 juta bakal ditransfer. "Ada yang dibayar
oleh petinggi PDIP untuk satu berita. Kamu tahu berapa bayarannya? Rp 10
juta," kata seorang wartawan media online meminta identitasnya tidak
disebutkan.
Bagi kalangan wartawan, isyarat uang amplop
ditentukan sesuai takaran bensin. Untuk duit Rp 10 juta masuk dalam
kategori satuan berat, yaitu ton. Sedangkan fulus ratusan ribu termasuk
kategori literan. Uang amplop ini disebut Jale.
Sumber
merdeka.com di kalangan petinggi Partai Banteng membenarkan partainya
membina wartawan dari berbagai media nasional di Jakarta. Ada dua
kategori wartawan peliharaan PDIP. Pertama ada grup wartawan di
BlackBerry Messanger. Kedua ada wartawan dibina langsung oleh Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) partai. "Sistemnya habis putus," ujarnya Selasa
pekan lalu.
Seorang wartawan di media nasional mengaku jurnalis
itu memang dikenal merah. Penyebutan itu bukan lantaran baju dia
kenakan, melainkan isi beritanya lebih berwarna merah seperti bendera
PDIP. Bahkan reporter dibawa hanya juga dongkol jika dia sudah mengedit
berita berisi informasi menyudutkan PDIP. "Dihalusin," ucapnya.
Wartawan
lain juga memiliki pengalaman serupa. Dia kerap kesal oleh atasannya.
Tugasnya mengikuti Joko Widodo di kantor Balai Kota Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta sudah menjadi keharusan meski dibilang beritanya biasa
saja. "Cuma Jokowi boker (buang hajat) saja belum ada beritanya," kata
wartawan itu Sabtu pekan kemarin.
Dia mengaku sudah bosan
mengikuti Jokowi blusukan lantaran dianggap sebagai pencitraan. Namun
karena sudah tugas dari kantor dia tidak bisa berbuat banyak.
Ketua
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi mengatakan
sejauh ini belum menemukan wartawan profesional bermain isu di pemilihan
presiden. Namun demikian, AJI menemukan media saat ini terpolarisasi
ikut mendukung salah satu pasangan calon presiden. "Kita melihat
pemilihan presiden ini ada polarisasi," ujarnya kemarin.
Dia
menjelaskan polarisasi itu terbentuk lantaran masyarakat sudah tidak
percaya lagi dengan lembaga survei. Menurut Eko, Pemilu 2014 memang
berbeda dengan pemilu sebelumnya pada 2004 dan 2009 di mana lembaga
survei begitu berjaya. Untuk itu, kata dia, politisi menggunakan
pendekatan untuk menguasai media.
"Sayangnya pas menjelang
pemilihan presiden, media lebih hitam putih, lebih saling berhadapan.
Ini disebabkan karena kandidat cuma dua," ujar Eko. "Sebelumnya media
tidak berkubu. Pemilu sebelumnya lebih santai."
Meski begitu,
Eko tidak menampik ada wartawan memang terlibat langsung mendukung salah
satu pasangan calon lantaran dia memang kader atau dibayar. Pelacur
berita itu, kata dia, lebih bermain secara diam-diam dan membawa isu
pesanan.
"Kalau itu pasti ada, indikasinya cukup jelas."
Monday, June 16, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Paling banyak dibaca
-
Video Mesum Wanita Dewasa Vs Anak Kecil Full 111
-
Bahan: 12 bh sayap ayam, potong dua, ambil bagian bawahnya, sisihkan ujungnya untuk kaldu minyak untuk goreng Bahan perendam (aduk rata)...
-
Playing Card atau di Indonesia sering disebut kartu Remi ( padahal nama salah satu permainan ) mungkin datang dari Timur, Mesir atau Arab – ...
-
-
-
Otak manusia terdiri lebih dari 100 miliar syaraf yang masing-masing terkait dengan 10 ribu syaraf lain. Bayangkan, dengan kerumitan otak se...
-
SUKMA KRAKATAU Dengan ijin TUHAN YME KI PATIH NUSANTORO akan siap membantu permasalahan SDRA dan SDRI dimanapun berada adapun permasalan y...
-
Terinspirasi oleh kartun Flintstones, rumah menakjubkan ini dibangun antara dua batu raksasa di bukit pegunungan Fafe di Portugal. Karena de...
-
-

No comments:
Post a Comment